Bangun
Kekayaan Hati…
Jangan Hanya Kekayaan Fisik…
Betapa pentingnya kekayaan sehingga
banyak orang tua menasehati anaknya dengan ungkapan, “Nak, jadilah kamu orang
kaya.”
Betapa pentingnya kekayaan sehingga
banyak orang tua menasehati anaknya dengan ungkapan, “Nak, jadilah kamu orang
kaya.”
Namun, banyak orang yang tidak
menyadari bahwa yang paling penting di dalam hidup ini bukanlah bagaimana
menjadi kaya, tetapi bagaimana membangun orientasi akhirat atas harta yang akan
kita dapatkan atau telah kita miliki. Bagaimana caranya?
1. Membangun Pribadi Qana’ah
Qana’ah yaitu rela menerima dan
merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta menjauhkan diri dari sifat tidak
puas yang berlebihan. Orang yang qana’ah selalu giat bekerja dan berusaha.
Namun, bila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia tetap rela
menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sikap ini merupakan sifat dasar
seorang mukmin yang bisa mendatangkan rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan
diri dari sifat serakah dan tamak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya beruntung orang yang masuk Islam dan rezekinya cukup
dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah Allah berikan kepadanya,” (Riwayat
Muslim).
Orang yang qana’ah memiliki
pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang ada pada dirinya adalah ketentuan
Allah Ta’ala. Firman-Nya,”Tiada sesuatu mahluk yang melata di bumi melainkan
ditangan Allah rezekinya.” (Huud [11]: 6)
2. Menjadi Pribadi Zuhud
Zuhud menurut bahasa berarti
berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang)
tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syai`un zahidun” yang
berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.
Menurut Al-Hasan Al-Bashri, zuhud
itu bukan mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta. Namun, zuhud di
dunia adalah, ”Engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah dari pada
apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak
adalah sama saja, sebagaimana antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu
sama dalam kebenarannya.”
Hal itu timbul dari keyakinannya
yang kuat dan lurus terhadap kekuasaan Allah Ta’ala. Abu Hazim az-Zahid pernah
ditanya, “Berupa apakah hartamu?” Beliau menjawab, “Dua macam. Aku tidak pernah
takut miskin karena percaya kepada Allah Ta’ala, dan tidak pernah mengharapkan
apa yang ada di tangan manusia, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik langit, bumi,
serta apa yang berada di antara keduanya.”
Zuhud bukan berarti meninggalkan
dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah Nabi SAW, teladan bagi orang-orang
yang zuhud. Beliau mempunyai sembilan istri. Para Sahabat juga mempunyai
istri-istri dan harta. Di antara mereka bahkan sangat kaya raya. Semuanya ini
tidaklah mengeluarkan mereka dari hakikat zuhud yang sebenarnya.
Dalam Hadits qudsi Allah Ta’ala
berfirman, “Wahai anak Adam, kosongkanlah gudangmu untuk memenuhi apa yang ada
di sisi-Ku. Engkau akan selamat dari kebakaran, kebanjiran, pencurian, dan
kejahatan. Itu semua lebih engkau butuhkan,” (Riwayat Thabrani dan Baihaqi).
3. Menjadi Insan Bersyukur
Diberi kesempatan hidup saja sudah
merupakan anugrah dan kenikmatan yang luar biasa, apalagi ditambah dengan
berbagai macam nikmat lainnya. Orang yang tidak merasa pernah cukup terhadap
nikmat yang sudah diberikan, selamanya akan miskin. Adapun orang yang ridha dan
bersyukur maka dialah orang kaya yang sesungguhnya.
Imam Syafii pernah berpesan, “In
kunta dza qalbin qanu’in, fa anta wa malikuddun-ya sawa’u (bila engkau memiliki
hati yang penuh [ridha dan puas dengan karunia] maka engkau dan raja dunia itu
sama saja.”
Yang membuat seseorang tidak bersyukur adalah karena hidupnya dipenuhi oleh keinginan yang tak berujung. Di sinilah urgensi kesadaran akan banyaknya nikmat Allah Ta’ala sehingga diperlukan kesyukuran sebagai tanda kekayaan hati. Sehingga ukurannya kekayaan bukanlah melimpahnya harta.
Yang membuat seseorang tidak bersyukur adalah karena hidupnya dipenuhi oleh keinginan yang tak berujung. Di sinilah urgensi kesadaran akan banyaknya nikmat Allah Ta’ala sehingga diperlukan kesyukuran sebagai tanda kekayaan hati. Sehingga ukurannya kekayaan bukanlah melimpahnya harta.
4. Menjadi Pribadi yang Senang
Memberi
Islam mengajarkan umatnya agar
menjadi pemberi dan bukan sebaliknya. Sebab, tangan di atas lebih baik dari
pada tangan di bawah. Tatkala seseorang telah bermental pemberi, maka mereka
merasa sukses karena keinginan jiwanya itu telah terpenuhi.
Orang seperti ini biasanya tidak
suka mengumpulkan harta benda, bahkan merasa risih dan malu untuk melakukannya.
Bagaimana mungkin ia akan mengambil harta yang bukan haknya sedangkan harta
miliknya saja diberikan kepada orang lain.
Berdasarkan dalil dan kenyataan
empirik, siapa pun yang banyak memberi ia akan banyak menerima pula.
Imam Al-Qayyim berkata, “Sesungguhnya sedekah (memberi) memiliki khasiat yang menakjubkan dalam menangkal bahaya sekalipun orang yang bersedekah adalah orang yang berbuat dosa, zalim, atau bahkan kafir. Maka dari itu dengan sedekah, sungguh Allah Ta’ala menahan bagi penderma berbagai macam bahaya. Hal ini sudah diketahui seluruh penduduk bumi. Mereka telah memahami kebaikan yang luar biasa dari sedekah, karena mereka telah mencobanya,” (Buku Rahasia di Balik Sedekah oleh Ibrahim Fathi Abdul Muqtadar)
Imam Al-Qayyim berkata, “Sesungguhnya sedekah (memberi) memiliki khasiat yang menakjubkan dalam menangkal bahaya sekalipun orang yang bersedekah adalah orang yang berbuat dosa, zalim, atau bahkan kafir. Maka dari itu dengan sedekah, sungguh Allah Ta’ala menahan bagi penderma berbagai macam bahaya. Hal ini sudah diketahui seluruh penduduk bumi. Mereka telah memahami kebaikan yang luar biasa dari sedekah, karena mereka telah mencobanya,” (Buku Rahasia di Balik Sedekah oleh Ibrahim Fathi Abdul Muqtadar)
Kiat Membangun Mental Kaya
Mental kaya sesungguhnya dapat
dibiasakan atau dilatih hingga seseorang yang awalnya pelit dapat berubah
menjadi dermawan. Adapun untuk mengembangkan mental kaya, cara-cara berikut ini
bisa kita terapkan:
Pertama, menyakini bahwa harta yang mutlak kita miliki adalah harta yang diberikan sebagai wujud ketaatan terhadap Allah Ta’ala, dan sebagai amal jariyah untuk mendapatkan janji dan jaminan Allah Ta’ala.
Pertama, menyakini bahwa harta yang mutlak kita miliki adalah harta yang diberikan sebagai wujud ketaatan terhadap Allah Ta’ala, dan sebagai amal jariyah untuk mendapatkan janji dan jaminan Allah Ta’ala.
Di dalam al-Qur`an surat Ali Imran
[3] ayat 133-134, Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa orang yang bertakwa itu
adalah orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun
sempit.
Kedua, tidak takut miskin karena
rajin bersedekah, sebagaimana nasehat Rasulullah SAW kepada Shahabat Bilal:
“Bersedekahlah wahai Bilal! Jangan takut kekurangan dari pemilik ‘Arsy,”
(Riwayat Bazzar dan Thabrani).
Pada dasarnya harta adalah milik Allah Ta’ala. Manusia hanyalah pengelola saja. Bagi orang-orang mukmin, keberadaannya mutlak sudah bertransaksi dengan Allah Ta’ala seperti firman-Nya, “sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka… (At-Taubah [9]: 111)
Pada dasarnya harta adalah milik Allah Ta’ala. Manusia hanyalah pengelola saja. Bagi orang-orang mukmin, keberadaannya mutlak sudah bertransaksi dengan Allah Ta’ala seperti firman-Nya, “sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka… (At-Taubah [9]: 111)
Ketiga, takut ancaman dan hukuman
dari Allah Ta’ala untuk orang-orang bakhil. Hal ini dijelaskan oleh Allah
Ta’ala dalam al-Quran surat Ali Imran [3] ayat 180, bahwa kelak, harta yang
mereka bakhilkan akan dikalungkan di leher mereka pada hari kiamat.
Keempat, meyakini bahwa pemberian
yang ia lakukan pada hakekatnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan orang lain
yang menikmatinya.
Barangsiapa takut kepada Allah
Ta’ala dalam masalah harta lalu membelanjakannya sesuai dengan yang
diridhai-Nya, atau untuk menolong agama-Nya, niscaya Allah Ta’ala akan
memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Allah Ta’ala
berfirman,”Dan kebaikan apa saja yg engkau perbuat untuk dirimu niscaya kamu
memperoleh-nya disisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling
besar pahalanya. (Al-Muddatstsir [74]: 20)
Kelima, memiliki keinginan kuat
untuk mendapatkan naungan pada Hari Pembalasan, yakni saat kesulitan manusia
memuncak dan matahari didekatkan dengan ubun-ubun manusia.
Ketika itulah orang-orang yang suka
bersedekah mendapat jaminan. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah disebutkan, ada
tujuh golongan manusia yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan
kecuali naungan-Nya. Salah satunya adalah, “Laki-laki yang bersedekah dan
menyembunyikannya, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
dikeluarkan oleh tangan kanannya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam bish-shawab.*** SUARA HIDAYATULLAH, MEI 2011
Wallahu a’lam bish-shawab.*** SUARA HIDAYATULLAH, MEI 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gunakan bahasa yang baik dan sopan.