Nasehat
Kematian
Ahli sastra Arab Mesir, Syauqi Beik,
mengatakan:
”Beramallah sebelum datangnya
kematian dengan sebutan yang baik. Sesungguhnya sebutan yang baik bagi manusia
(setelah meninggal) adalah umur yang kedua.”
Umur di dunia bersifat faniyah
(berakhir). Kehidupan di dunia, seperti diriwayatkan Imam Ahmad, bagaikan
seorang pengendara berjalan pada suatu hari yang panas. Ia berlindung di bawah
sebatang pohon sesaat, kemudian berjalan lagi dan meninggalkannya. Dunia ini
timbul, tenggelam, dan tidak muncul lagi.
Sedangkan usia di akhirat bersifat
baqiyah (kekal abadi). Orang yang selalu beramal shalih di dunia dengan niat
ikhlas, umurnya akan berlanjut sampai ke akhirat dengan kebahagiaan. Tapi,
siapa yang mati tanpa amal, maka ia bagaikan naik kapal tanpa membawa bekal. Ia
akan menderita.
Sesungguhnya kenikmatan surga, yang
tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, tidak terbersit di
dalam hati, bisa melupakan segala keletihan dan kepahitan dunia. Sebaliknya,
siksa neraka itu melupakan setiap kelapangan, kenikmatan, dan kemanisan dunia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) berfirman:
Bagaimana pendapatmu, kalau Kami
berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada
mereka siksa yang dijanjikan kepada mereka? Niscaya tiada berguna untuk
melindungi mereka, kenikmatan yang telah diberikan kepada mereka itu. (Asy
Syuara [26]: 205-207)
Dua Nasehat
Ada dua nasihat yang sangat berharga
bagi manusia: nasihat berbicara, yaitu al-Qu`ran; dan nasihat diam, yakni
kematian.
Tak seorangpun yang bisa mengetahui
datangnya ajal, apa yang akan dilakukan besok, dan di bumi mana ia meninggal.
Firman Allah SWT:
Sesungguhnya hanya di sisi Allah
pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang
dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal. (Luqman [31]: 34)
Dalam kehidupan manusia juga ada
tiga peristiwa yang berkesan: saat kelahiran, ketika menikah, dan saat
meninggalkan dunia yang fana ini. Suatu karunia yang besar bagi kita, bahwa
Allah SWT menjadikan peristiwa kematian sebagai sesuatu yang dirahasiakan agar
dalam situasi ketidakpastian ini, kita mempersiapkan bekal yang cukup, bekerja
lebih baik, dan menjalani kehidupan ini dengan cara hati-hati, waspada agar
senantiasa meniti jalan yang lurus.
Itulah sebabnya mengapa berkali-kali
Allah SWT selalu mengingatkan kepada kita tentang ajal. Bahwa dunia ini ada
masa akhir, individu dan sosial memiliki umur tertentu. Maka, manusia yang
cerdas akan menyadari pentingnya waktu. Firman Allah SWT:
Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka
sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan
yang memperdayakan (Ali Imran [3]: 185).
Tiap-tiap umat mempunyai batas
waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya
barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya (Al A’raf [7]: 34).
Sesungguhnya kesadaran akan hal itu
akan muncul ketika seseorang mengerti kapan memulai, rehat, dan mengakhiri
kehidupan. Sehingga, kehidupan ini bisa dinikmati dan maknai dengan baik. Kata
Ibnul Qayyim, “Ketika jiwa kita terhenyak oleh kenyataan kehidupan kedua setelah
di dunia ini, lahirlah keimanan.”
Logika Sesat
Dalam masyarakat hedonis dan
materialisme, waktu hanya didistribusikan untuk mengonsumsi dan memproduksi.
Sesaat menciptakan uang, dan semasa menghabiskan uang. Mereka mengatakan, tiada
yang bisa membinasakan kami, kecuali waktu.
Komunitas Yahudi juga memiliki cara
pandang yang salah tentang waktu. Tabiat mereka sama dengan tabiat dunia.
Mereka mengatakan, sekiranya kami disiksa di neraka, kelak kami akan disiksa
beberapa hari saja. Mereka menganalogikan masa di dunia sebanding dengan masa
di akhirat. Mereka tidak menyadari perbedaan sistem waktu di dunia dengan
sistem waktu di akhirat.
Dan mereka meminta kepadamu agar
azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya.
Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut
perhitunganmu. (Al-Hajj [22]: 47).
Itulah yang membuat mereka,
sebagaimana diikuti kebanyakan manusia, menjalani lakon kehidupan yang tamak,
yakni takatsur, memperbanyak harta, mencari pengaruh, mengelola massa, tapi
bukan untuk menegakkan dinul Islam.
Akibatnya mereka menghalalkan segala
cara, asalkan tujuan tercapai (al-ghoyatu tubarrirul wasail). Padahal, jika
seseorang disiksa tiga hari saja di akhirat, berarti sama dengan masa tiga
milenium di dunia ini.
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghozali
mengatakan, “Sesungguhnya penyakit takatsur, jika tidak dicegah penularannya
sejak awal, akan berefek kepada penyakit turunan yang menjadi induk perbuatan
dosa sepanjang zaman. Yakni, serakah yang diwariskan oleh Adam, sombong yang
ditularkan oleh Iblis, dan dengki yang dilakukan oleh Qabil. Ketiga jenis
perbuatan maksiat itulah yang mewarnai seluruh kegiatan manusia dari zaman
jahiliyah klasik sampai jahiliyah modern.
Sadar akan Kematian
Setiap kali Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam (SAW) menjelang tidur, beliau lebih dahulu meyakini bahwa
tidur adalah saudara kematian. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT)
menghendaki, Dia tidak akan mengembalikan ruh itu ke dalam jasad kita.
Maka, beliau mengajarkan, menjelang
tidur kita hendaknya melakukan berbagai persiapan sebagaimana dilakukan oleh
orang yang akan menghadapi kematian. Kita diperintahkan untuk berwudhu.
Kemudian melakukan shalat 2 rakaat, pergi ke pembaringan, dan melantunkan doa
berikut:
Ya Allah kuserahkan segenap urusanku
kepada-Mu. Dan kuhadapkan wajahku kepada-Mu. Dan kuserahkan segala urusanku
kepada-Mu. Dan kusandarkan punggungku hanya kepada-Mu. Dengan penuh harapan dan
ridha-Mu. Tidak ada tempat kembali, juga tidak ada tempat menemukan keselamatan
dari siksa-Mu, kecuali hanya kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab yang Engkau
turunkan. Dan kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus. Jadikanlah
kalimat-kalimat sebagai ucapan terakhir.
Maka, ketika kita terbangun, kita
disunnahkan mengucapkan doa:
Segala puji bagi Allah yang telah
menghidupkan kami kembali setelah Ia mematikan kami dan kepada-Nya kelak
kembali.
Dalam kehidupan sehari-hari, unsur
kematian dan hari akhirat sejatinya menggugah kesadaran kita tentang sempitnya
waktu di dunia. Sehingga dorongan untuk berbuat maksiat menjadi lemah.
Sedangkan motivasi untuk mencari bekal ke akhirat menjadi lebih kuat.
Nabi Adam AS hanya makan buah
larangan, harus bertobat selama 40 tahun. Bagaimana dengan dosa kita yang
menumpuk, sementara amal shalih kita belum tentu diterima?
Wallahu a’lamu bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gunakan bahasa yang baik dan sopan.