Sabtu, 05 Mei 2012

Nasehat Kematian


Nasehat Kematian
Ahli sastra Arab Mesir, Syauqi Beik, mengatakan:
”Beramallah sebelum datangnya kematian dengan sebutan yang baik. Sesungguhnya sebutan yang baik bagi manusia (setelah meninggal) adalah umur yang kedua.”
Umur di dunia bersifat faniyah (berakhir). Kehidupan di dunia, seperti diriwayatkan Imam Ahmad, bagaikan seorang pengendara berjalan pada suatu hari yang panas. Ia berlindung di bawah sebatang pohon sesaat, kemudian berjalan lagi dan meninggalkannya. Dunia ini timbul, tenggelam, dan tidak muncul lagi.
Sedangkan usia di akhirat bersifat baqiyah (kekal abadi). Orang yang selalu beramal shalih di dunia dengan niat ikhlas, umurnya akan berlanjut sampai ke akhirat dengan kebahagiaan. Tapi, siapa yang mati tanpa amal, maka ia bagaikan naik kapal tanpa membawa bekal. Ia akan menderita.
Sesungguhnya kenikmatan surga, yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, tidak terbersit di dalam hati, bisa melupakan segala keletihan dan kepahitan dunia. Sebaliknya, siksa neraka itu melupakan setiap kelapangan, kenikmatan, dan kemanisan dunia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) berfirman:
Bagaimana pendapatmu, kalau Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka siksa yang dijanjikan kepada mereka? Niscaya tiada berguna untuk melindungi mereka, kenikmatan yang telah diberikan kepada mereka itu. (Asy Syuara [26]: 205-207)
Dua Nasehat
Ada dua nasihat yang sangat berharga bagi manusia: nasihat berbicara, yaitu al-Qu`ran; dan nasihat diam, yakni kematian.
Tak seorangpun yang bisa mengetahui datangnya ajal, apa yang akan dilakukan besok, dan di bumi mana ia meninggal. Firman Allah SWT:
Sesungguhnya hanya di sisi Allah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Luqman [31]: 34)
Dalam kehidupan manusia juga ada tiga peristiwa yang berkesan: saat kelahiran, ketika menikah, dan saat meninggalkan dunia yang fana ini. Suatu karunia yang besar bagi kita, bahwa Allah SWT menjadikan peristiwa kematian sebagai sesuatu yang dirahasiakan agar dalam situasi ketidakpastian ini, kita mempersiapkan bekal yang cukup, bekerja lebih baik, dan menjalani kehidupan ini dengan cara hati-hati, waspada agar senantiasa meniti jalan yang lurus.
Itulah sebabnya mengapa berkali-kali Allah SWT selalu mengingatkan kepada kita tentang ajal. Bahwa dunia ini ada masa akhir, individu dan sosial memiliki umur tertentu. Maka, manusia yang cerdas akan menyadari pentingnya waktu. Firman Allah SWT:
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (Ali Imran [3]: 185).
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya (Al A’raf [7]: 34).
Sesungguhnya kesadaran akan hal itu akan muncul ketika seseorang mengerti kapan memulai, rehat, dan mengakhiri kehidupan. Sehingga, kehidupan ini bisa dinikmati dan maknai dengan baik. Kata Ibnul Qayyim, “Ketika jiwa kita terhenyak oleh kenyataan kehidupan kedua setelah di dunia ini, lahirlah keimanan.”
Logika Sesat
Dalam masyarakat hedonis dan materialisme, waktu hanya didistribusikan untuk mengonsumsi dan memproduksi. Sesaat menciptakan uang, dan semasa menghabiskan uang. Mereka mengatakan, tiada yang bisa membinasakan kami, kecuali waktu.
Komunitas Yahudi juga memiliki cara pandang yang salah tentang waktu. Tabiat mereka sama dengan tabiat dunia. Mereka mengatakan, sekiranya kami disiksa di neraka, kelak kami akan disiksa beberapa hari saja. Mereka menganalogikan masa di dunia sebanding dengan masa di akhirat. Mereka tidak menyadari perbedaan sistem waktu di dunia dengan sistem waktu di akhirat.
Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. (Al-Hajj [22]: 47).
Itulah yang membuat mereka, sebagaimana diikuti kebanyakan manusia, menjalani lakon kehidupan yang tamak, yakni takatsur, memperbanyak harta, mencari pengaruh, mengelola massa, tapi bukan untuk menegakkan dinul Islam.
Akibatnya mereka menghalalkan segala cara, asalkan tujuan tercapai (al-ghoyatu tubarrirul wasail). Padahal, jika seseorang disiksa tiga hari saja di akhirat, berarti sama dengan masa tiga milenium di dunia ini.
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghozali mengatakan, “Sesungguhnya penyakit takatsur, jika tidak dicegah penularannya sejak awal, akan berefek kepada penyakit turunan yang menjadi induk perbuatan dosa sepanjang zaman. Yakni, serakah yang diwariskan oleh Adam, sombong yang ditularkan oleh Iblis, dan dengki yang dilakukan oleh Qabil. Ketiga jenis perbuatan maksiat itulah yang mewarnai seluruh kegiatan manusia dari zaman jahiliyah klasik sampai jahiliyah modern.
Sadar akan Kematian
Setiap kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) menjelang tidur, beliau lebih dahulu meyakini bahwa tidur adalah saudara kematian. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) menghendaki, Dia tidak akan mengembalikan ruh itu ke dalam jasad kita.
Maka, beliau mengajarkan, menjelang tidur kita hendaknya melakukan berbagai persiapan sebagaimana dilakukan oleh orang yang akan menghadapi kematian. Kita diperintahkan untuk berwudhu. Kemudian melakukan shalat 2 rakaat, pergi ke pembaringan, dan melantunkan doa berikut:
Ya Allah kuserahkan segenap urusanku kepada-Mu. Dan kuhadapkan wajahku kepada-Mu. Dan kuserahkan segala urusanku kepada-Mu. Dan kusandarkan punggungku hanya kepada-Mu. Dengan penuh harapan dan ridha-Mu. Tidak ada tempat kembali, juga tidak ada tempat menemukan keselamatan dari siksa-Mu, kecuali hanya kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab yang Engkau turunkan. Dan kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus. Jadikanlah kalimat-kalimat sebagai ucapan terakhir.
Maka, ketika kita terbangun, kita disunnahkan mengucapkan doa:
Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami kembali setelah Ia mematikan kami dan kepada-Nya kelak kembali.
Dalam kehidupan sehari-hari, unsur kematian dan hari akhirat sejatinya menggugah kesadaran kita tentang sempitnya waktu di dunia. Sehingga dorongan untuk berbuat maksiat menjadi lemah. Sedangkan motivasi untuk mencari bekal ke akhirat menjadi lebih kuat.
Nabi Adam AS hanya makan buah larangan, harus bertobat selama 40 tahun. Bagaimana dengan dosa kita yang menumpuk, sementara amal shalih kita belum tentu diterima?
Wallahu a’lamu bish shawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gunakan bahasa yang baik dan sopan.