Kuasailah…
Jangan Mau di Kuasai…
Hampir setiap manusia berharap
memiliki harta yang berlimpah. Apalagi di zaman semua serba uang. Semua
kebutuhan dan keinginan harus diperoleh dengan uang.
Namun, banyak orang lupa, gara-gara
harta, tidak sedikit yang nestapa. Lihatlah di negara-negara berteknologi maju
dan melimpah materi, justru merebak empat penyakit akibat stres: jantung,
kanker, radang sendi, dan pernapasan. Inilah gambaran nestapa peradaban materi.
Harta yang dicari dan dibangga-banggakan ternyata membawa sengsara. Tak bisa
menjamin hidup bahagia.
Agar harta tak sia-sia, kita harus
bijak menggunakannya. Jika tidak, kita sama saja lepas dari mulut buaya, masuk
ke mulut harimau. Miskin menderita, kaya pun sengsara.
Nah, bagaimana seharusnya kita menyikapi harta benda ini?
Nah, bagaimana seharusnya kita menyikapi harta benda ini?
Orientasi Tauhid
Apa orientasi dasar hidup kita?
Bagaimana kita memandang materi yang kita cari dan kita punyai? Untuk apa semua
harta yang kita miliki?
Banyak orang, tanpa sadar, belum
memiliki orientasi dasar yang benar terhadap harta. Cara pandangnya kabur,
terombang-ambing oleh situasi dan kondisi.
Cara pandang seseorang terhadap
harta menunjukkan lurus tidaknya orientasi hidupnya. Seorang yang menggunakan
segala cara untuk mendapatkan harta menunjukkan orientasi dasarnya adalah
kekayaan. Ia menjadikan harta itu sebagai tujuan tertinggi. Sehingga ia rela
mengorbankan waktu, kejujuran, dan harga diri demi mendapatkan kekayaan.
Bahkan, berdoanya kepada Tuhan pun
tidak ada yang diminta kecuali harta dunia. Nasib di akhirat pun terabaikan.
Inilah yang disyinyalir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Firman-Nya:
Maka di antara manusia ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan
kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”; dan tiadalah baginya bahagian (yang
menyenangkan) di akhirat.” (Al Baqarah [2]: 200)
Jika itu yang dilakukan, tidak perlu
menunggu di akhirat, di dunia pun pasti akan menuai banyak masalah. Ia telah
menebar energi negatif. Dan siapa yang menebar angin, ia pasti menuai badai.
Niat dan tindakan yang tidak benar akan berbuah pahit. Konflik dengan keluarga dan kolega, berurusan dengan hukum, sampai ancaman pembunuhan dari mereka yang merasa dizalimi.
Niat dan tindakan yang tidak benar akan berbuah pahit. Konflik dengan keluarga dan kolega, berurusan dengan hukum, sampai ancaman pembunuhan dari mereka yang merasa dizalimi.
Cara-cara seperti itu jelas tidak
mengundang berkah dan ridha Allah Ta’ala. Mungkin bisa saja ia berkelit dari
jeratan hukum karena kelicinannya. Tapi, tanpa rahmat Allah Ta’ala,
kehidupannya tak akan berkah.
Seorang yang telah bersyahadat mestinya menjadikan tauhid sebagai orientasi dasar dalam hidupnya dan menjadikan ridha Allah Ta’ala sebagai tujuan hidupnya. Adapun harta hanya menjadi alat, bukan tujuan. Maka ia akan menggunakan harta sebesar-besarnya untuk mencapai tujuan mulia itu.
Seorang yang telah bersyahadat mestinya menjadikan tauhid sebagai orientasi dasar dalam hidupnya dan menjadikan ridha Allah Ta’ala sebagai tujuan hidupnya. Adapun harta hanya menjadi alat, bukan tujuan. Maka ia akan menggunakan harta sebesar-besarnya untuk mencapai tujuan mulia itu.
Bernilai Ibadah
Bekerja mencari harta, bila
berorientasi benar, bisa memuliakan kita. Meski bekerja terlihat hanya sebagai
amalan dunia, tapi jika berbingkai tauhid, semuanya menjadi bernilai ibadah.
Di zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam (SAW) , ada anak muda yang kuat dan perkasa. Suatu hari,
pagi-pagi sekali, ia sudah keluar rumah untuk bekerja mencari harta.
Kemudian ada orang yang berkomentar,
“Kasihan sekali orang itu. Andai kata masa mudanya serta kekuatannya digunakan
untuk fi sabilillah, alangkah baiknya.”
Mendengar komentar itu, Rasulullah
SAW pun meluruskannya. Kata beliau, ”Janganlah kamu mengatakan begitu. Sebab
kalau keluarnya orang itu dari rumah untuk bekerja demi mengusahakan kehidupan
anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha fi sabilillah. Jika ia bekerja
untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun
fi sabilillah. Tetapi bila ia bekerja karena untuk berpamer atau untuk
bermegah-megahan maka itu fi sabilisy syaithan (karena mengikuti jalan setan),”
(Riwayat Thabrani).
Dengan semangat fi sabilillah harta menjadi berkah. Harta akan mendatangkan kebaikan karena di sana ada rahmat Allah Ta’ala. Kalau ada kelebihan, insya Allah, bukan untuk kesombongan dan bermegahan, tetapi untuk diberikan kepada orang lain sebagai zakat, infak, dan sedekah. Harta yang baik adalah harta yang ada di tangan orang yang baik, yang digunakan untuk beramal shaleh.
Dengan semangat fi sabilillah harta menjadi berkah. Harta akan mendatangkan kebaikan karena di sana ada rahmat Allah Ta’ala. Kalau ada kelebihan, insya Allah, bukan untuk kesombongan dan bermegahan, tetapi untuk diberikan kepada orang lain sebagai zakat, infak, dan sedekah. Harta yang baik adalah harta yang ada di tangan orang yang baik, yang digunakan untuk beramal shaleh.
Para Sahabat Rasulullah SAW ada juga
yang berharta banyak. Salah seorang di antaranya adalah Abdurrahman bin Auf.
Dia pernah menyedekahkan 700 ekor unta beserta muatannya berupa kebutuhan pokok
dan barang perniagaan kepada kaum Muslim. Ia juga pernah membeli tanah senilai
40 ribu dinar atau setara Rp 55 miliar untuk dibagi-bagikan kepada para istri
Nabi SAW dan fakir miskin. Ia juga pernah menginvestasikan tak kurang 500 ekor
kuda perang dan 1.500 ekor unta untuk jihad fi sabilillah.
Ketika wafat ia pun masih sempat mewasiatkan 50 ribu dinar untuk diberikan kepada veteran perang Badar. Masing-masing pahlawan mendapat jatah 400 dinar atau setara Rp 560 juta.
Ketika wafat ia pun masih sempat mewasiatkan 50 ribu dinar untuk diberikan kepada veteran perang Badar. Masing-masing pahlawan mendapat jatah 400 dinar atau setara Rp 560 juta.
Tidak semestinya kelebihan harta
menghalangi kita untuk meraih ridha Allah Ta’ala. Harta yang dicari dengan
jalan tidak halal jelas hanya akan mempersulit perjalanan menuju Allah Ta’ala.
Harta yang dicari dengan jalan halal tetapi belum digunakan di jalan Allah,
juga masih belum bernilai di sisi-Nya.
Harta yang telah disedekahkan di
jalan Allah Ta’ala, itulah investasi abadi yang akan dilipatgandakan balasannya
oleh Allah Ta’ala. Sementara harta yang tersimpan, saat maut menjemput, pasti
akan kita tinggalkan di dunia ini. Hanya amal yang akan menyertai kita
menghadap Allah Ta’ala kelak.
Rasulullah SAW berdabda, ”Ada tiga
perkara yang mengikuti mayit sesudah wafatnya, yaitu keluarganya, hartanya, dan
amalnya. Yang dua kembali dan yang satu tinggal bersamanya. Yang pulang kembali
adalah keluarga dan hartanya, sedangkan yang tinggal bersamanya adalah
amalnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Zuhud Sejati
Banyak orang kaya yang merasa
seolah-olah menguasai harta, padahal dialah yang dikuasai harta. Orang yang
menjadikan harta sebagai tujuan dan melakukan segala cara untuk mendapatkannya
adalah orang yang telah diperbudak oleh harta dan kesenangan dunia.
Seorang yang punya orientasi dasar
tauhid dan istiqamah dengan prinsipnya, akan memiliki mental yang tercerahkan.
Kaya bukan semata pada harta, tetapi pada hati. Rasa berkecukupanlah yang
membuat orang bisa berdaya memberi dan berbagi.
Sebaliknya, seseorang yang secara
materi kaya, tetapi mentalnya masih berkekurangan dan tamak, tak akan mampu
mengeluarkan hartanya di jalan Allah Ta’ala. Ia malah ingin menyimpan
sebanyak-banyaknya lagi. Mengambil dan mengambil. Orang demikian telah
diperalat oleh hartanya.
Seorang yang bertauhid, hanya
menjadi hamba Allah Ta’ala, bukan hamba selain-Nya. Ia hanya rela dikuasai oleh
Allah Ta’ala, bukan selain-Nya. Orang seperti Abdurrahman bin Auf mampu
memberikan hartanya sampai sekian banyak bukan karena ia kaya raya, tetapi
karena ia mampu menguasai hartanya.
Sehingga, meski kaya raya,
penampilan Abdurrahman bin Auf tetap sederhana. Ia tidak menyombongkan diri.
Pakaiannya sama dengan pakaian pelayannya. Di badannya ada dua puluh bekas luka
perang. Cacat pincang dan giginya yang rontok sehingga berakibat cadel, adalah
tanda jasa di perang itu.
Harta seharusnya hanya menempel di
tangan saja, bukan di pikiran, apalagi di hatinya. Itulah zuhud. Zuhud bukan
karena tidak ada harta tetapi karena idealisme tauhidnya. Orang seperti inilah
yang akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat sebagaimana doa yang
senantiasa kita panjatkan kepada Allah Ta’ala yang termaktub dalam Al Baqarah
[2]: 201. “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Wallahu a’lam bish-shawab. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gunakan bahasa yang baik dan sopan.