Wahn..
Musuh Sang Pengendali….
Suatu
hari, ketika Rasulullah SAW sedang berkumpul dengan para Sahabat, beliau
bersabda, “Hampir-hampir bangsa-bangsa
memperebutkan kalian (umat Islam), layaknya memperebutkan makanan yang berada
di mangkuk”.
Seorang sahabat bertanya, “Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?”
Beliau menjawab, “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat
banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut
rasa takut (musuh) kepada kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian
wahn. “
Seseorang lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu wahn?”
Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.”
Sabda Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud itu membuat heran para sahabat. Pasalnya,
meski jumlah mereka sedikit saat itu, mereka ditakuti musuh dan telah memiliki
pengaruh yang sangat besar. Mereka telah menjadi pengendali, bukan
dikendalikan. Bagaimana mungkin umat yang sedemikian kuat dan mulianya ini
kehilangan kewibawaan, bahkan dijadikan mangsa, sementara jumlah mereka banyak?
Namun, apa yang
dinyatakan Rasulullah SAW itu rasanya telah menjadi kenyataan sekarang ini.
Coba renungkan, ngerei kita pernah dijajah selama 3,5 abad oleh Belanda. Begitu
pula Negara-negara Muslim di belahan bumi lainnya. Bahkan, hingga kini masih
banyak Negara Muslim yang secara politik dan militer dikuasai oleh musuh-musuh
Allah SWT. Di kancah global, kekuatan kaum Muslim belum diperhitungkan.
Padahal, jumlahnya tidak sedikit, satu miliar orang atau seperlima penduduk
dunia.
Sebetulnya,
upaya kaum Muslim untuk bangkit dari keterpurukan bukan tak ada. Hasilnya pun
sudah terasa. Bukankah telah banyak Negara Muslim yang telah meredeka?. Namun,
meski telah berdaulat, faktanya masih banyak Negara Muslim yang menggantungkan
dirinya pada bangsa-bangsa kafir. Padahal mereka di karuniai sumber daya alam
yang melimpah.
Ironis, memang! Terlebih bila
dikaitkan dengan misi utama umat Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Mestinya umat Islam menjadi pengendali peradaban, bukan objek yang dikendalikan.
Lantas apa yang musti kita
lakukan?
Menyikapi Dunia
Virus yang
melumpuhkan umat Islam sekarang ini adalah cinta dunia, sesuai sinyal yang
disampaikan Rasulullah SAW pada masa lalu. Cinta dunia inilah yang membuat jiwa
seorang Muslim melemah. Ia ibarat virus HIV yang menggerogoti kekebalan tubuh.
Dalam sabda yang
lain, Rasulullah SAW juga menyatakan bahwa virus cinta dunia ini bisa
menyebabkan seseorang menjadi serakah, sebagaimana seekor serigala yang masuk
dalam kandang kambing. Bahkan, ulama pun bisa menjadi jahat (ulama su’) saat
terjangkiti penyakit cinta dunia ini, apalah lagi manusia pada umumnya.
Ketika Hasa
al-Bashri ditanya apa yang paling merusak agama, beliau memberikan jawaban yang
sama dengan Rasulullah SAW : serakah! Anehnya justru keserakahan inilah yang
menjadi spirit ideology materialism dan kapitalisme saat ini.
Secara kejiwaan,
seorang Muslim yang cinta dunia mengalami konflik batin dengan keyakinannya
sendiri yang menempatkan Allah SWT sebagai tujuan tertinggi. Adanya ketidak
selarasan ini membuat dia kehilangan arah. Ia tidak lagi berkomitmen dengan
nilai tauhid yang menjadi ajaran utamanya. Akibatnya, kewibawaan pun dicabut
darinya dan musuh pun tidak takut mempermainkannya.
Allah SWT mengecam orang-orang
yang terjangkit virus al-wahn ini denga firman-Nya :
“Katakanlah,”Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat inggal yang kamu sukai, lebih
kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak member
petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Q.S At-Taubah: 24)
Seorang Muslim
yang mengejar dunia mungkin akan mendapatkannya, sebagaimana orang-orang
materialis yang banyak mendapatkannya. Tapi, jika kepentingan dunia itu menjadi
tujuan, ia tak akan pernah menjadi pengendali dunia, melainkan di perbudak oleh
dunia. Bukankan Qarun juga diberikan harta yang banyak? Ia telah ditenggelamkan
oleh Allah SWT karena menukar dirinya dari hamba Allah SWT menjadi hamba dunia.
Seorang Muslim
bukan berarti tak boleh menguasai ekonomi, ilmu pengetahuan, informasi, dan
teknologi. Namun, letakkan semua itu di atas tangan, jangan di dalam hati. Ketika
harta tidak masuk dalam hati, kita akan berkuasa menggunakannya untuk amal
kebaikan. Sedang hati hanya kita gunakan untuk mencari ridha Allah.
Harta bukan
untuk dicintai. Harta dalam Islam hanya akan bernilai baik jika digunakan untuk
kebaikan di jalan Allah SWT. Inilah yang secara indah ditorehkan dalam sejarah
oleh Sahabat Abu Bakar Asshidiq, Abdurrahman bin Auf, dan Utsman bin Affan. Abdurrahman
bin Auf pernah menyedekahkan seluruh kafilah dagangnya sebanyak 700 unta. Utsman
bin Affan berkorban sebanyak sepertiga hartanya. Abu Bakar bahkan menginfakkan
seluruh hartanya di jalan Allah SWT. Mereka kaya raya, tapi mampu menempatkan
dunia ini sebagai sarana berjuang di jalan Allah SWT. Dan, mereka tidak jatuh
miskin karenanya, justru harta mereka kian berkah.
Muslim yang
berpikir seperti itulah yang harus kita siapkan saat ini jika kita ingin
menjadi pengedali dunia. Seorang Muslim hanya menjadi budak Allah SWT saja
(Abdullah dan khalifah fil ardh), bukan budak dunia.
Menyikapi Kematian
Setiap yang bernyawa
pasti mati, dan manusia adalah makhluk benyawa. Karena itu, siap atau tidak,
kematian akan menjemput kita. Tak ada yang bisa mengelak. Kematian adalah
keniscayaan. Karena itu bagi seorang Muslim kematian harus dipersiapkan secara
sadar dan dihadapi dengan baik. Bukan malah dibenci.
Kenapa seorang
membenci kematian? Karena dia terlalu mencintai dunia ini dan takut kehilangan
kesenangan dunia yang tengah dinikmatinya. Kehidupan dunia ini telah melalaikannya
sehingga ia tak sadar harus menyiapkan kehidupan setelah matinya. Ia telah
menghabiskan sumber daya dan waktunya
untuk kehidupan dunia ini. Padahal dunia ini fana.
Hal ini berbeda
dengan seseorang yang tujuan hidupnya mencari ridha Allah SWT. Ia akan
menyiapkan dan memprioritaskan kehidupan akhirat dengan memperbanyak amal
kebaikan. Ia rela bermujahadah dan berkorban harta dan jiwanya demi kehidupan
abadinya. Aset yang dimiliki digunakan sepenuhnya untuk menjemput ridha ilahi.
Orang demikian, insyaAllah telah menyiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik
dari dunia ini. Sehingga ia menjadikan kematian bukan sesuatu yang ditakuti,
tetapi sebagai pintu menuju kebahagiaan abadi.
Kematian
bukanlah terputusnya kehidupan dan kesenangan. Tetapi justru terbukanya pintu
bertemu Tuhan. Seorang yang menjadikan Tuhan sebagai tujuan utamanya, saat
kematian akan tersenyum. Sikap demikianlah yang diteladankan oleh generasi
terdahulu. Mereka mulia dalam kehidupannya karena mereka menjadikan
kehidupannya sebagai lahan perjuangan. Bahkan kematian justru merupakan kemuliaan.
‘Isykariman aw mut syahidan’ (hidup mulia atau mati syahid), begitu kata
pepatah.
Mereka yang
menjadikan kehidupan dan kematiannya sebagai jalan kemuliaan akan menjadi
pengendali dunia, bukan menjadi budak dunia. Dunia justru tunduk kepadanya.
Para musuhnya pun akan takut mempermainkan mereka. Dan dengan kewibawaan yang
diberikan Allah SWT jadilah ia pengendali dunia dan pemimpin peradaban rahmatan
lil alamin.
Wallahu a’lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gunakan bahasa yang baik dan sopan.