Jumat, 04 Mei 2012

Contoh Karya Ilmiah


SIKAP SISWA TERHADAP 
GERAKAN RADIKALISME BERBASIS AGAMA




Disusun Oleh:
M. Irvan Yusuf
Rizal Arif Budiman
Khomsyah Nurhayati

MADRASAH ALIYAH NEGERI KOTA TEGAL
Jalan Pendidikan Pesurungan Lor-Margadana Telp. (0283) 325056
KOTA TEGAL 52142

LEMBAR PENGESAHAN
                      Setelah meneliti dan mengadakan perbaikan-perbaikan maka karya tulis ini dapat disahkan dan diterima guna mengikuti lomba karya tulis ilmiah remaja.

                      Disahkan pada
                      Hari       :  Jum’at
                      Tanggal :  16 September 2011





            Kepala MAN Kota Tegal                                          Waka Kesiswaan                                              


Drs. H. Kamaluddin, M.M.                                      Ihda Syifai, S.Pd.            NIP. 196512021985031003                                       NIP. 19740121 20013 1002
                                                                                                                                   




DAFTAR ISI
Halaman Judul           ………………………………………………………………i
Halaman Pengesahan          ………………………………………………………..ii
Daftar Isi        ……………………………………………………………………..iii
Kata Pengantar                    .....................................................................................iv
Bab I Pendahuluan                   .................................................................................1
1.1       Latar Belakang                  ........................................................................1
1.2       RumusanMasalah                .......................................................................2
1.3       Tujuan Penulisan                 .......................................................................2
1.4       Manfaat Penulisan               ......................................................................2
1.5       Metode Penelitian                ......................................................................2

Bab II Kajian Pustaka               ................................................................................3
2.1         Permasalahan yang mengenai radikalisme Islam       ...............................3
2.2         Stigma Radikalisme Islam                ........................................................7

Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan              .................................................11
Bab IV Penutup                     .................................................................................17
a.         Simpulan                     ..............................................................................17
b.         Saran                       ..................................................................................17
Daftar Pustaka                     ....................................................................................19
Lampiran                        .........................................................................................20








KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan pemilik semesta alam dan sumber segala pengetahuan karena atas bimbingan-Nya penyusun dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul “Sikap Siswa Terhadap Gerakan Radikal Berbasis Agama“. Adapun penyusunan karya tulis ini dimaksudkan untuk mengembangkan pola pemikiran baru guna mengetahui persoalan kekerasan dan terorisme yang menjadi perbincangan sekaligus permasalahan politik di negara ini. Pemahaman yang keliru terhadap persoalan ini bisa membahayakan orang yang bersangkutan maupun orang lain.
Kami sangat menyadari karya tulis ini masih jauh dari kesempuranaan.  Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun kami sangat harapkan untuk kesempurnaan dari kekurangan-kekurangan yang ada, sehingga karya tulis ini dapat bermanfaat. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu kami dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, terkhusus kepada :
1.      Drs. H. Kamaluddin, MM selaku kepala MAN Kota Tegal.
2.      Ihda Syifa’i, S.Pd selaku waka kesiswaan MAN Kota Tegal
3.      Eka Ertiningsih, S. Pd & Retnowati S.Pd selaku pembimbing.
4.      Kedua Orang Tua yang sangat kami cintai beserta saudara-saudara kami yang tersayang  yang telah memberi dukungan dan bantuan.
5.      Teman-teman kami yang telah memberikan support kepada kami.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan balasan yang setimpal atas bantuan dan pengorbanan mereka kepada kami dan melimpahkan rahmat dan karunia–Nya kepada kita semua.  Amin ya Rabbal Alamin.

                                                                              Tegal, 10 September 2011
                                                                                                                       

     Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
       Kata-kata ”Islam Radikal” akhir-akhir ini sudah tak asing lagi di telinga kita. Setiap ada peledakan bom maka sebagian masyarakat akan berpikir bahwa itu adalah ulah orang-orang yang menganut paham radikal dalam pergerakannya. Bahkan, terkadang label radikal itu bersandingan dengan kata Islam, sehingga mereka dengan mudah dan tanpa memahami terlebih dahulu memvonis Islam itu radikal. Sungguh pemahaman yang sangat keliru karena perbuatan segelintir orang mereka langsung memvonis agama Islam yang sebenarnya ”rahmatan lil alamin” tetapi dinilai sebaliknya.
    Kenyataannya bukan hanya label radikal saja yang berkembang di masyarakat. Ketika penganut agama Islam berkiblat pada paham barat maka masyarakat pun akan memberi label liberal. Penambahan kata-kata tertentu setelah kata Islam seperti radikal, liberal, revival tentu berdampak pada penilaian masyarakat terhadap ajaran agama Islam terutama penilaian dari orang-orang yang kurang  memahami Islam secara mumpuni contohnya pemahaman siswa terhadap agama Islam. Pemahaman yang tidak tuntas ini akan menggiring pada penilaian meraka yang terkesan asal tahu saja.
     Sudah saatnya siswa memahami apa itu Islam dan mengapa banyak label-label tertentu bersandingan dengan kata Islam yang sebenarnya tidak diajarkan pada zaman nabi. Islam adalah ajaran yang penuh rahmat bagi semesta alam dan bukan agama teroris seperti yang dilansir media-media barat. Penilaian yang salah karena berasal dari pemahaman yang salah. Apalagi ketika kita hidup di era arus informasi global yang terkadang berita tentang Islam kurang proporsional dan kurang berimbang.
   Berawal dari latar belakang tersebut di atas, penyusun ingin menggali sejauh mana pandangan dan sikap siswa terhadap ”Islam Radikal”. Bagi penyusun sudah saatnya siswa harus memahami Islam secara kaffah dan tidak memahami Islam sebatas pemberitaan-pemberitaan yang menyudutkan ajaran Islam. Di pundak-pindak siswa inilah Islam diharapkan akan berkembang sebagaimana mestinya karena Islam adalah agama yang penuh rahmat bagi seluruh alam.     
Islam radikal inilah yang bisa kita katakan sebagai gerakan Islam radikal atau radikalisme berbasis agama, dimana hal tersebut  akan kami bahas lebih jauh dalam karya ilmiah ini.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, peristiwa tersebut mendorong kami untuk mencoba mengkaji terhadap gerakan radikal yang berbasis agama, sehingga muncul permasalahan yaitu:
1.      Bagaimana pandangan siswa terhadap gerakan Islam radikal?
2.      Bagaimana cara untuk mengatasi problematika pemikiran radikal dengan hal-hal yang berkaitanan kekerasan?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk ikut berpartisipasi dalam pemecahan masalah radikalisme agama yang saat ini sudah mulai menyebar dan mempengaruhi semua kalangan, terutama generasi muda muslim.

1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan karya ilmiah ini secara umum adalah untuk mengetahui bagaimana cara memecahkan masalah radikalisme agama dan solusi apa saja yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah tersebut. Sedangkan manfaat yang dapat diambil secara khusus bagi penulis yaitu melatih diri untuk ikut bersikap dalam memecahkan suatu problematika agama serta sebagai sarana melatih berkarya ilmiah.

1.5  Metode Penelitian
a.       Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah  kelas jurusan Agama MAN Kota Tegal Tahun ajaran 2011/2012.
b.      Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah  kelas XII Agama MAN Kota Tegal Tahun ajaran 2011/2012.
  1. Metode
         Metode penelitian yang kami gunakan dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah :
1.      Riset Pustaka (Library Research), yaitu metode yang mempelajari dan menelaah literatur yang berhubungan dengan masalah.
2.      Pengumpulan data dengan menggunakan angket atau kuesioner, yaitu sebuah cara atau teknik yang digunakan penyusun untuk mengumpulkan data dengan menyebarkan angket yang berisi pernyataan-pernyataan yang  dijawab oleh para responden. Dari jawaban responden tersebut, penyusun dapat memperoleh data seperti pendapat dan sikap responden terhadap masalah yang sedang diteliti.

c. Waktu dan Tempat
          Penelitian dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2011 sampai tanggal 20 Agustus 2011. Adapun tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di MAN Kota Tegal.










BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Permasalahan Mengenai Radikalisme Islam
            Munculnya isu-isu politis mengenai radikalisme Islam merupakan  tantangan  baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Isu radikalisme Islam ini sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan wacana internasional. Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. (Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan,1995: 270)
            Banyak label-label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terorisme. Bahkan di negara-negara Barat pasca hancurnya ideologi komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah gerakan dari peradaban yang menakutkan. (Nasution, Islam Rasional, 1995:124)
        Salah satu label yang melekat pada kata Islam yakni  liberal. Islam liberal adalah nama sebuah gerakan dan aliran pemikiran yang bermula dari sebuah ajang kongkow-kongkow di jalan Utan Kayu 69 H, Jakarta Timur. Tempat ini sejak 1996 sebagai tempat pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film, dan seni rupa. Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang salah satu motor utamanya adalah Ulil Abshar Abdalla berkantor. Bersama Goenawan Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) serta sejumlah pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib dan Saiful Mujani, Ulil kerap menggelar diskusi bertema ’pembaruan’ pemikiran Islam.
Setelah berdiskusi sekian lama pada akhir 1999 Ulil dan kawan-kawan sepakat untuk memperkenalkan serta mengkampanyekan pemikiran mereka dengan bendera Islam Liberal. Lalu untuk mengintensifkan kampanye mereka membentuk wadah Jaringan Islam Liberal (JIL) pada maret 2001. Dengan ditunjang kucuran dana dari Asia Fondation kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara. Mulai dari forum kajian dan diskusi, media cetak hingga media elektronik. Media internet juga tak ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan membuat forum diskusi internet (mailing list) kemudian dilanjut dengan membuat situs web,  www.islamlib.com.
Kampanye lewat media cetak dilakukan sangat gencar. Selain melalui majalah seperti Tempo dan Gatra, JIL mendapat porsi publikasi besar di koran Jawa Pos-Net. Dengan nama rubrik kajian Utan Kayu, setiap hari Ahad JIL mendapat jatah satu halaman penuh dengan diisi tulisan para pengusung ide Islam liberal, antara lain Nucholis Madjid, Azyumardi Azra, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F Mas’udi. Kampanye melalui media elektronik mula-mula cuma disuarakan melalui kantor berita radio 68 H yang mengudarakan dialog interaktif setiap Kamis sore. Belakangan siaran itu kemudian di-relay oleh tak kurang 15 menit stasiun radio se-Indonesia yang tergabung dalam jaringan 68 H, sehingga dapat disimak oleh para pendengar dari Aceh hingga Manado. Di Jakarta siaran langsung JIL di-relay oleh stasiun radio dangdut Muara FM. Adapun istilah Islam liberal dipilih oleh kalangan JIL untuk menamakan gerakan dan pemikran mereka mendapat inspirasi dari buku Liberal Islam: A Sourcebook karya Charles Kurzman (edisi bahasa Indonesia berjudul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, diterbitkan oleh Paramadina), sebab dari buku itu pula JIL meminjam enam agenda Charles Kurzman. Enam isu itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan.
Sebenarnya Islam liberal bukanlah suatu pemikiran baru. Di Indonesia pemikiran Islam liberal telah dirintis oleh antara lain Harun Nasution, Nucholis Madjid, Munawir Sjadzali dan Abdurrahman Wahid. Mereka adalah orag-orang yang sejak tahun 1970-an dan 1980-an menggelindingkan ide ’pembaruan Islam’, berupa Islam rasional, deskonstruksi syariah sekulerisasi. Namun, kata Ulil Abshar kepada Gatra, para perintis itu gagal memasyarakatkan gagasan Islam liberal ke masyarakat. Kegagalan itu antara lain karena tidak adanya pengorganisasian secara sistematis. Luthfi Asyaukanie berkata, gerakan Islam liberal sebelum ini terlalu elitis. Gagasan itu lebih banyak dibawa kalangan akademis dan peneliti yang tak mengakar ke masyarakat, sehingga opini publik tetap dikuasai oleh kalangan Islam ’konservatif’ yang memiliki jaringan kuat dan mengakar ke masyarakat.
Islam liberal dan Islam revivalis adalah hal yang berbeda. Charles Kurzman mendefiniskan, Islam revivalis berusaha mengembalikan kemurnian Islam di zaman Rasulullah SAW, tetapi tidak ramah dengan kehadiran modernitas. Sedangkan Islam liberal, yaitu menghadirkan masa lalu Islam untuk kepentingan modernitas. Sebuah pengkategorian yang sangat kadang diperdebatkan. Tapi lepas dari perdebatan itu, menurut kalangan JIL, dalam konteks Indonesia, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung sekularisme dan menentang penegakkan syari’at Islam oleh negara. Pemikiran revivalis, katakanlah begitu tercemin dalam FPI (Front Pembela Islam), atau Laskar Jihad yang lebih kuat, atau jaringan PK (Partai Keadilan) yang lebih mengakar. (Ulil Abshar)
Untuk mengimbangi kalangan revivalis, kini JIL telah menyusun sejumlah agenda, antara lain: kampanye sekulerisasi seraya menolak konsep Islam kaffah (total atau sempurna) dan menolak penegakkan syari’at Islam, menjauhkan konsep jihad dari makna perang, penerbitan Al-Qur’an edisi kritis, mengkampanyekan feminisme dan keseteraan gender serta pluralisme. Sebagaimana perkataan Ulil Abshar dalam rubrik kajian Utan Kayu Jawa Pos,Beragama secara kaffah itu tidak sehat dilihat dari berbagai segi. Agama yang ’kaffah’ hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalamai ’sofistikasi’ kehidupan seperti zaman modern. Beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah”.
Tidak ada gejolak politik yang lebih ditakuti melebihi bangkitnya gerakan  Islam yang diberinya label sebagai radikalisme Islam. Tuduhan-tudujan dan propaganda barat atas Islam sebagai agama yang menopang gerakan radikalisme telah menjadi retorika internasional. Label radikalisme bagi gerakan Islam yang menentang barat dan sekutu-sekutunya dengan sengaja dijadikan komoditi politik.
Gerakan perlawanan rakyat Palestina, Revolusi Islam Iran, Partai FIS Al-Jazair, perilaku anti-AS yang dipertunjukkan Mu’ammar Ghadafi ataupun Saddam  Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan, gerakan masyarakat Muslim Sudan yang anti-AS, merebaknya solidaritas Muslim Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas dan sebagainya, adalah fenomena yang dijadikan media barat dalam mengkapanyekan label radikalisme Islam.
Dalam perspektif barat, gerakan Islam sudah menjadi fenomena yang perlu dicurigai. Terlebih-lebih pasca hancurnya gedung WTC New York yang dituduhkan dilakukan oleh kelompok Islam garis keras (Al-Qaeda dan Taliban) semakin menjadikan tema radikalisme Islam menjadi wacana yang lebih mengglobal yang berimplikasi pada sikap kecurigaan masyarakat dunia, terutama bangsa barat dan Amerika Serikat terhadap gerakan Islam.
Hal yang demikian terjadi karena orang-orang Eropa barat dan Amerika Serikat berhasil dalam melibatkan dan mewarnai media sehingga mampu membentuk opini publik. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan sekelompok Islam dengan membawa simbol-simbol agama telah dimanfaatkan oleh orang-orang barat dengan memanfaatkan media massa sebagai alat utama dalam memegang tampuk wacana peradaban, sehingga Islam terus menerus dipojokkan oleh publik. Barangkali masyarakat barat telah tertipu oleh muslihat peradabannya sendiri dalam mengeksploitasi media yang diciptakannya.
Ketergesa-gesaan dalam generalisasi menyebabkan mereka tidak mampu memandang fenomena historis umat Islam secara obyektif. Tetapi hal ini tidak berarti pembenaran terhadap praktek radikalisme yang dilakukan umat beragama karena yang demikian bertentangan dengan pesan-pesan moral yang terkandung dalam agama dan moralitas manapun. Akan tetapi apa yang perlu dilihat adalah bahwa Islam sebagai agama sangat menjunjung tinggi perdamaian.
Hal ini bukan saja ada dalam normatifitas teks wahyu dan sunnah tetapi termanifestasi dalam sejarah Islam awal. Islam secara normatif dan historis (era Nabi) sama sekali tidak pernah mengajarkan praktek radikalisme sebagaimana terminologi di barat. Islam tidak memiliki keterkaitan dengan gerakan radikal, bahkan tidak ada pesan moral Islam yang menunjuk kepada ajaran radikalisme baik dari sisi normatif maupun historis kenabian.
2.2 Stigma Radikalisme Islam
            Menurut Madjid dalam, Islam Agama Peradaban, Mencari Makna Dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah (1995:260) stigma radikalisme Islam adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian. Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik.
            Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam. Kuntowijoyo mengatakan dalam Identitas politik Umat Islam (1997:49) istilah radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang lebih tepat ketimbang fundamentalisme karena fundamentalisme sendiri memimiliki makna yang  interpretable. Dalam tradisi pemikiran teologi keagamaan, fundamentalisme merupakan gerakan untuk mengembalikan seluruh perilaku dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada Al-Qur’ an dan Al-Hadits. (H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, Terjemahan Machnun Husein, 1990:52).
            Sebutan fundamentalis memang terkadang bermaksud untuk menunjuk kelompok pengembali (revivalis) Islam. Tetapi terkadang istilah fundamentalis juga ditujukan untuk  menyebut gerakan radikalisme Islam. Dengan demikian penulis lebih cenderung menggunakan istilah radikalisme dari pada fundamentalisme karena pengertian fundamentalisme dapat memiliki arti-arti lain yang terkadang  mengkaburkan makna yang dimaksudkan sedang radikalisme dipandang lebih jelas makna yang ditunjuknya yaitu gerakan yang menggunakan kekerasan untuk mencapai target politik yang ditopang oleh sentimen atau emosi keagamaan. Sebutan untuk memberikan label bagi gerakan radikalisme untuk kelompok Islam garis keras juga bermacam-macam seperti ekstrim kanan, fundamentalis, militant, dan sebagainya. M.A. Shaban menyebut aliran keras (radikalisme) dengan sebutan neo-khawarij. (M.A. Shaban, Islamic History, 1994:56).
            Sedangkan Nasution dalam Islam Rasional (1995:125) menyebutnya dengan sebutan khawarij abad ke dua puluh (abad 20-pen) karena memang jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan adalah dengan menggunakan kekerasan sebagaimana dilakukan khawarij pada masa pasca Tahkim.
            Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak membenarkan adanya praktek kekerasan. Cara-cara radikal untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan apa yang dianggap sakral bukanlah cara- cara yang Islami. Di dalam tradisi peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya label radikalisme. Istilah radikalisme Islam berasal dari pers barat untuk menunjuk gerakan Islam garis keras (ekstrim, fundamentalis, militan). (Azra,  Pergolakan politik Islam, Dari Fundamentalis, Modernisme Hingga Post-Modernisme, 1996:18)
Istilah fundamentalisme dan radikalisme dalam perspektif barat sering dikaitkan dengan sikap ekstrim, kolot, stagnasi, konservatif, antibarat, dan keras dalam mempertahankan pendapat bahkan dengan kekerasan fisik. Penggunaan istilah radikalisme atau fundamentalisme bagi umat Islam sebenarnya tidak tepat karena gerakan radikalisme itu tidak terjadi di setiap negeri Muslim dan tidak dapat ditimpakan kepada Islam. Radikalisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang dirugikan oleh fenomena sosio-politik dan sosio-historis.
Gejala praktek kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam itu, secara historis-sosiologis, lebih tepat sebagai gejala sosial-politik ketimbang gejala keagamaan meskipun dengan mengibarkan panji-panji keagamaan.
Fenomena radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kalangan umat Islam, oleh pers barat dibesar-besarkan, sehingga menjadi wacana internasional dan terciptalah opini publik bahwa Islam itu mengerikan dan penuh dengan kekerasan. Akibatnya tidak jarang kesan-kesan negatif banyak dialamatkan kepada Islam sehingga umat Islam terpojokkan sebagai umat yang  perlu dicurigai. Hal yang demikian terjadi karena masyarakat barat mampu menguasai pers yang dijadikan instrumen yang kuat guna memproyeksikan kultur dominan dari peradaban global. Apa yang ditangkap masyarakat dunia adalah apa yang didefinisikan dalam media-media barat.
Hal yang demikian terjadi karena masyarakat barat mampu menguasai pers yang dijadikan instrumen yang kuat guna memproyeksikan kultur dominan dari peradaban global. Apa yang ditangkap masyarakat dunia adalah apa yang didefinisikan dalam media-media Barat.
Label Islam untuk menyebut gerakan fundamentalis sangat menyenangkan bagi pers barat ketimbang label Tamil di Srilangka, militan Hindu di India, IRA (kelompok bersenjata Irlandia Utara), militan Yahudi sayap kanan, sekte kebatinan di Jepang ataupun bahkan musuh lamanya, komunis-marxis yang tidak jarang menggunakan jalan kekerasan sebagai solusi penyelesaian masalah. Karena terlalu mengkaitkan kata-kata radikalisme, fundamentalis atau gerakan  militan dengan Islam maka seringkali media barat mengabaikan perkembangan praktek kekerasan yang ditopang keyakinan keagamaan yang dilakukan oleh kalangan non-Islam ataupun yang ditopang oleh ideologi “kiri”.
Contoh yang sangat jelas adalah aksi tutup mulut para elit politik barat atau aksi bicara dalam kepura-puraan ketika malihat praktek kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis Yahudi  ataupun  Israel atas orang-orang Arab Palestina. Apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pelaku kekerasan ini secara faktual sama dengan apa yang dilakukan oleh kelompok pelaku garis keras “radikalisme Islam”. Tetapi sebutan radikalisme lebih kental ditujukan kepada gerakan Islam.
            Hal inilah yang ditolak oleh gerakan negara-negara OKI dalam pertemuannya di Kuala Lumpur Malaysia tanggal 1–3 April 2002. Realitas historis-sosiologis ini adalah bukti betapa Barat menggunakan standar berganda dan bersikap  tidak adil terhadap Islam. Ketika masjid dan Mullah dilihat sebagai timbul radikalisme atau ketika gejala-gejala kultural Muslim diproyeksikan sebagai bentuk fanatisme dan ekstrimisme maka terjadilah pengekangan dan pemenjaraan peradaban Islam. Masyarakat  barat telah memberikan klaim peradaban atas Islam sementara proses peradaban Islam sedang membentuk jati dirinya. (SOLOPOS, 2 April 2002:4).
Hal tersebut tidak berarti pembenaran perilaku radikalisme yang dilakukan umat Islam karena apapun alasannya praktek kekerasan merupakan pelanggaran norma keagamaan sekaligus pelecehan kemanusiaan. Dengan demikian maka jelas bahwa label radikalisme yang dialamatkan oleh Barat kepada Islam merupakan pelecahan agama karena di dalam Islam tidak ada perintah menuju kekerasan. Istilah salah kaprah itu sesungguhnya tidak perlu terjadi jika Barat mau mengkaji Islam normatif terkadang tidak diimplementasikan oleh sekelompok muslim dalam konteks historis-sosiologis.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
            Penelitian dilakukan dengan menggunakan model kajian riset pustaka. Sedangkan untuk menggali sikap siswa digunakan model angket seperti di bawah ini. Angket tersebut diisi oleh siswa kelas XII Agama yang berjumlah 19 siswa. Penyusun memilih sampel penelitian kelas XII Agama dengan pertimbangan karena di kelas tersebut lebih banyak mendapat pelajaran muatan agama dibandingkan kelas reguler IPA dan IPS.  Adapun bentuk angket atau kuesioner yang digunakan adalah sebagai berikut :
No.
Pernyataan
Ya
Tidak tahu
Ragu
1.
Radikal adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan.



2
Islam adalah agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai, dan mencari perdamaian.



3
Gerakan radikalisme lebih banyak merekrut generasi muda sebagai korban ajaran para pemikir radikal.



4.
Berkembangnya radikal di Indonesia disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum, pemahaman ideologi pancasila.



5.
Agama Islam itu membenarkan adanya gerakan radikalisme?




          

Dari hasil angket tersebut diperoleh data sebagai berikut :
No
Pernyataan
Jumlah siswa Menjawab
Ya
Tidak tahu
Ragu
1
Radikal adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan.
6
12
1
2
Islam adalah agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai, dan mencari perdamaian.
19
-
-
3
Gerakan radikalisme lebih banyak merekrut generasi muda sebagai korban ajaran para pemikir radikal.
16
1
2
4
Berkembangnya radikal di Indonesia disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum, pemahaman ideologi pancasila.
15
2
2
5
Agama Islam itu membenarkan adanya gerakan radikalisme?
-
-
19
  
           Berdasarkan tabel hasil tersebut, semua siswa di kelas XII Agama memiliki pandangan dan sikap yang sama yakni 19 siswa yakin bahwa Islam  merupakan agama yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian. Tentu hal ini menggembirakan ketika mereka sudah berkeyakinan bahwa Islam adalah haq. Dari keyakinan ini diharapkan siswa dapat mengamalkan ajaran agama Islam secara baik dan benar (kaffah) dan tidak terjerumus pada ajaran-ajaran yang hendak menyesatkan Islam seperti ajaran-ajaran Islam radikal. Mereka juga meyakini bahwa gerakan radikal lebih banyak merekrut generasi muda sebagai korban ajaran radikal. Penilaian mereka tercermin dari sejumlah 16 siswa menjawab ya. Harapan penyusun ini  dapat menjadi kewaspadaan kita bahwa  pelaku radikal bukan hanya dari kalangan orang-orang dewasa. Justru kita sebagai generasi muda lebih banyak menjadi objek sasaran kaum radikal dalam menanamkan paham ajarannya.
          Akan tetapi, keyakinan mereka tidak diimbangi dengan pengetahuan dan pemahaman tentang Islam. Hal ini terlihat ketika siswa menjawab angket pada pernyataan nomor 1, 4, dan nomor 5. Pada point pernyataan tersebut siswa lebih banyak menjawab ragu-ragu. Hal ini menandakan bahwa pengetahuan mereka belum sepenuhnya maksimal terhadap ajaran agama Islam. Hal ini mengkhawatirkan karena pemahaman yang setengah-setengah dapat menggiring mereka pa da sikap mereka terhadap Islam. (Lihat Lampiran hal : 22-23)
            Dari hasil penelitian secara umum dapat dikatakan bahwa siswa-siswa masih memerlukan bimbingan dalam mempelajari Islam yang baik dan benar. Hal ini dimaksudkan agar ketika mereka berada di masyarakat yang majemuk, keyakinan mereka terhadap Islam tidak dipengaruhi oang-orang yang hendak merusak citra Islam. Siswa Islam adalah generasi penerus agama Islam yang diharapkan dapat membawa panji-panji kebenaran Islam dan bukan menjadi objek sasaran untuk dibidik menjadi kaum radikal yang memerangi agamanya sendiri. Dengan pemahaman agama yang benar dengan sendirinya dapat menyaring ajaran-ajaran mana yang sesuai dengan syariat dan mana yang menyimpag dari syariat. Menurut pandangan penulis kekurangpahaman mereka disebabkan faktor-faktor berikut:
  1. Siswa lebih menerima budaya barat sehingga pemikiran-pemikiran cenderung dipengaruhi budaya barat.
  2. Siswa lebih memilih mempelajari hal-hal yang sifatnya modern, padahal mempelajari ajaran Islam adalah pondasi dalam menapaki kehidupan.
  3. Maraknya budaya instan seperti memahami sesuatu dari berita-berita saja tanpa diikuti dengan membaca literatur yang sesuai. Misal, mereka tahu label-label yang melekat pada Islam dari pemberitaan. Pada kenyataannya terkadang pemberitaan tersebut lebih condong menyudutkan Islam apalagi pemberitaan media-media barat.
Sedangkan hasil penelitian secara riset pustaka diperoleh pemahaman bahwa  gerakan-gerakan radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kelompok umat Islam sesungguhnya mencerminkan paduan beberapa faktor. Oleh karenanya perlu dicari akar permasalahan dari faktor-faktor tersebut. Beberapa faktor tersebut antara lain :
Pertama, faktor internal yaitu berupa emosi keagamaan yang berdasarkan interpretasi ajaran agama. Dalam hal ini, jika gerakan radikalisme berbasis pada interpretasi ajaran agama maka jalan yang perlu ditempuh untuk meminimalisir gerakan radikalisme agama (khususnya Islam) harus mulai dengan rekontruksi terhadap pemahaman agama, dari yang bersifar simbolik-normatif menuju pemahaman yang etik, substansial dan universal. Namun hal ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena memerlukan upaya yang menyeluruh dan kompleks. Mengubah pola pikir dan sikap mental adalah perbuatan yang amat sulit  dilakukan terlebih-lebih jika pola pikir sebelumnya sudah ditopang dengan akidah (keyakinan) keagamaan yang kuat dan mengakar.
Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walalupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan symbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan mati stahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.
            Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Asy’ari dalam Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur’an (1992:95)  bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme.
Budaya barat merupakan sumber sekularisme yang dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia.
Barat telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam.
Keempat, faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol barat harus dihancurkan demi penegakan syari’at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.
            Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.
            Keenam, faktor pendidikan dan kemiskinan. Faktor ini sangat berpengaruh disamping faktor-faktor lainnya. Karena jika masyarakat kurang pendidikan sudah tentu mudah di pengaruhi oleh penggerak gerakan radikal. Di samping itu, kemiskinan juga sangat berpengaruh dalam menyebarnya gerakan radikal. Dengan menjajikan harta untuk mencukupi kebutuhannya, maka mudah bagi para penggerak untuk menjaring masyarakat, khususnya masyarakat Muslim.
Di samping itu, faktor media massa (pers) barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim.





















BAB IV
PENUTUP

a.       Simpulan
            Islam dan radikalisme adalah dua hal yang terpisah. Islam tidak memiliki keterkaitan dengan gerakan radikal, bahkan tidak ada pesan moral Islam yang menunjukan kepada ajaran radikalisme. Gerakan yang seperti ini tidak dibenarkan dalam syari’at Islam.  Karena, Islam itu sendiri menyerukan perintah amar ma’ruf nahi munkar bukan dengan kekerasan. Amar ma’ruf nahi munkar itu harus dengan hikmah, santun, bertutur kata yang baik dan bukan dengan kekerasan. Pada saat ini, gerakan radikalisme sudah banyak menyebar dan kelompok gerakan ini mempengaruhi serta berusaha menjaring semua kalangan untuk ikut dalam kelompoknya, namun lebih membidik para generasi muda yang diantaranya anak-anak SMA/ SMK/ MA/ dan Mahasiswa serta orang-orang yang awam mengenal gerakan radikal.
b.      Saran
            Memberikan solusi permasalahan ini sungguhlah tidak mudah. Namun, sebenarnya radikalisme bernuansa agama dapat diatasi secara komprehensif tanpa harus  mengorbankan demokrasi maupun kepentingan umat beragama. Gerakan radikalisme bernuansa agama yang berujung tindak terorisme ini tidak bisa dihentikan dengan peluru, akan tetapi harus diatasi faktor pemicunya .  
            Dalam melihat fenomena historis-sosiologis mengenai muncul dan berkembangnya gerakan radikalisme ini ada beberapa catatan yang mungkin terjadi solusi alternatif. Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk melindungi umat Islam dari bahaya radikalisme adalah melakukan penguatan pendidikan dan ekonomi umat melalui pendistribusian zakat, infaq, shadaqah serta wakaf. Hal ini karena faktor pemicu dari gerakan radikalisme kebanyakan  adalah karena ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan  yang membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh gerakan radikal. Sebagaimana dalam sejarah abad keemasan Islam, kemiskinan dapat diatasi, antara lain, melalui pendayagunaan  zakat, infaq, shadaqah dan wakaf, sehingga keadilan sosial dapat terwujud dalam kehidupan bernegara. Bisa dibuktikan, tidak ditemukan kasus-kasus kerusuhan dan radikalisme massa pada saat itu. Dalam mengatasi permasalahan inipun harus diselesaikan secara komprehensif dan tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong atau hanya satu elemen saja, tapi butuh koordinasi menyeluruh. Di samping itu radikalisme adalah masalah yang kompleks dan terorganisasi, maka kerjasama antara agama dan bangsa ini sangat dibutuhkan dalam memecahkan masalah ini. Jaringan radikalisme memang harus diberantas sampai ke akarnya.
        Cara lain untuk menangkal radikalisme agama adalah dengan memberikan pelajaran agama yang mantap, terpadu serta memberikan pembekalan dan pengetahuan yang mendalam mengenai bahaya radikalisme agama, sehingga agama akan mendorong para siswa atau santri untuk terus berkarya, radikalisme pun bisa ditangkal.


















Daftar Pustaka
1.      Asy’arie, Musa (1992). Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-qur’ an.
            Yogyakarta: LESFI.
2.      Azra, Azyumardi (1996).  Pergolakan politik Islam, Dari Fundamentalis,
                  Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.
3.      Gibb,H.A.R (1990). Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, Terjemahan           
Machnun Husein. Jakarta: Rajawali Press.
4.      Imarah, Muhammad (1999). Fundamentalisme Dalam Perspektif Barat dan
      Islam.  Jakarta: Gema Insani Press.
5.      Madjid, Nurcholish (1995). Islam Agama Peradaban, Mencari Makna Dan
Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
6.      Madjid, Nurcholish (1995). Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina.
7.      Montgmery, William (1998). Islamic Fundamentalism And Nodernity.
            London: T.J.Press (Padstow) Ltd.
8.      Shaban, M.A (1994). Islamic History. Cambridge: Cambridge University
Press.
9.      Majalah Hidayatullah edisi 10/XIV Februari 2002











Lampiran 1
Persentase dan Diagram Hasil Penelitian
 Pernyataan No. 1
Pengetahuan
Frekuensi
Persentase
Ya
6
31 %
Tidak
12
63 %
Ragu
1
6 %

Pernyataan No. 2
Pengetahuan
Frekuensi
Persentase
Ya
19
100 %
Tidak
0
0 %
Ragu
0
0 %

Pernyataan No. 3
Pengetahuan
Frekuensi
Persentase
Ya
16
82 %
Tidak
1
6 %
Ragu
2
12 %



Pernyataan No. 4
Pengetahuan
Frekuensi
Persentase
Ya
15
76 %
Tidak
2
12 %
Ragu
2
12 %

Pernyataan No. 5
Pengetahuan
Frekuensi
Persentase
Ya
0
0 %
Tidak
0
0 %
Ragu
19
100 %


DIAGRAM RESPONDEN







Lampiran 2
Daftar Siswa Kelas XII Agama MAN Kota Tegal
Sebagai Responden Angket Penelitian
No.
Nama
1.
Abdurrohman Rozqi
2.
A’isyah Ismiati
3.
Ade Yuli Purwanti
4.
Cut Nur Fadillah
5.
Ibnu Khibban Al-Ilyas
6.
Ika Nurul Fitri
7.
Intan Ribkah Annisa
8.
Izzul Afif Arwani
9.
Khoerotunnisa
10.
M. Irvan Zidni
11.
M. Ilyas
12.
M. Rifkie Setiawan
13.
Maghfiroh
14.
Mustika Dinni Apriliani
15.
Ni’matul Azizah
16.
Rodatul Jannah
17.
Tri Handayani
18.
Wiwi Ristiyanti
19.
Zahirin Dwi Ardianto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gunakan bahasa yang baik dan sopan.