Kendalikan Diri, Lalu Kendalikan Dunia…..
Allah SWT telah menetapkan kita
sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah, seyogyanya kita menjadi
penentu, bukan pihak yang ditentukan, karena kita adalah para pengendali, bukan
pihak yang dikendalikan.
Kita semestinya menjadi subyek,
bukan obyek yang selalu menjadi bulan-bulanan, korban, atau sasaran permainan
orang lain.
Namun, sungguh ironis. Di satu sisi
kita telah ditetapkan dan dilantik sebagai khalifah, tapi dalam kenyataannya
kita masih sering menjadi obyek kepentingan pihak-pihak lain.
Pertanyaannya, apakah Allah SWT
salah dalam menunjuk kita sebagai khalifah?
Sesungguhnya Allah SWT takan pernah
salah mengangkat kita sebagai khalifah. Sebab, orang-orang sebelum kita telah
menunjukkan kemampuannya yang luar biasa saat menjadi khalifah. Sebut saja, misalnya para khulafaur rasyidin
dan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Mereka menjadi pengendali sekaligus penentu.
Mereka menjadi pemain sekaligus pemenang.
Rahasia Sang
Pengendali
Apa sebenarnya rahasia keberhasilan
mereka? Ternyata, sebelum mereka Berjaya mengendalikan dunia, mereka telah
piawai mengendalikan diri sendiri. Sebelum menundukkan orang lain, mereka telah
mampu menundukkan diri sendiri. Sebelum menguasai pihak lain, mereka telah
menguasai diri sendiri.
Mengendalikan diri sendiri ternyata
menjadi pangkal kesuksesan yang sejati. Allah SWT berfirman :
“Dan adapun
orang-orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
(keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya. (An-Nazi’at:40-41)
Lalu bagaimana dengan kita saat ini? Tampaknya kita masih
lemah untuk urusan yang satu ini. Kita masih belum memiliki kekuatan apa-apa
dikarenakan kita masih lemah menghadapi diri kita sendiri. Kita belum mampu
mengendalikan hawa nafsu yang selama ini masih mendominasi dan menguasai diri
kita. Padahal, kita bisa dengan mudah melepaskan diri dari belenggu
kapitalisme, misalnya. Cukup dengan satu
tindakan saja, yaitu melepaskan belenggu “cinta
dunia”.
Senjata kapitalisme itu ada dua,
menjadikan dunia tampak indah, dan menjadikan manusia tergantung kepadanya. Salah
satu keahlian musuh-musuh Islam adalah mengemas dunia tampak indah di mata
penggemarnya. Minuman keras yang memabukkan dan merusak akal manusia dikemas
sedemikian rupa hingga terlihat indah mempesona. Demikian juga rokok yang
jelas-jelas merusak kesehatan dicitrakan sebagai selera lelaki sejati.
Seks bebas yang jelas-jelas merusak
tatanan social dan kesehatan reproduksi dikemas indah menjadi gaya hidup. Orang
yang setia hanya pada pasangannya dianggap kuno dan “kurang gaul”. Padahal seks
bebas telah melahirkan berbagai penyakit social yang mematikan seperti HIV dan
AIDS.
Keahlian memoles kemungkaran
menjadi kenikmatan merupakan profesi yang paling digemari saat ini. Melalui
ilmu komunikasi marketing, kemudian disuguhkan melalui media, maka jadilah
kejahatan menjadi kemewahan, tontonan menjadi tuntunan, perilaku merusak
menjadi kebiasaan.
Kejahatan yang diulang-ulang
menjadi “lumrah”, lama-lama menjadi “biasa”, berikutnya menjadi kebenaran yang
tak dipermaslahkan. Na’udzubillah.
Karena itu, agar hidup kita tidak
dikendalikan pihak lain, maka kita harus mampu mengendalikan diri sendiri.
Hal-hal penting yang sangat perlu kita kendalikan adalah :
- Emosi
Mengelola emosi merupakan hal sangat penting bagi semua
orang. Seseorang yang pandai mengelola emosinya akan terselamatkan dari
berbagai musibah. Sebaliknya orang yang tak pandai mengelola emosinya pasti
akan celaka.
Rasulullah
SAW ketika ditanya seorang sahabat tentang pengertian Islam, Beliau menjawab singkat: “
Laa Taghdob, Jangan marah (bagian penting dari emosi)”.
Bahkan,
dalam sebuah Hadits, Rasulullah SAW Bersabda, “Laa taghdhab walakal jannah
(Jangan marah, kalian akan mendapatkan surge).
Dalam
suatu debat di televise, seorang panelis yang mudah terpancing emosinya akan
dengan mudah dikalahkan oleh lawan bicaranya. Sebaliknya, panelis yang pandai
mengelola emosinya akan sulit dijatuhkan. Bahkan dia akan menjadi pemenang.
Rahasianya adalah orang yang emosional akan mudah dikendalikan.
- Waktu
Bagi seorang Muslim, waktu
sangatlah berharga. Waktu yang telah berlalu tak pernah berulang kembali. Remaja
tidak akan pernah menjadi kanak-kanak lagi. Demikian juga orang dewasa takan
pernah menjadi remaja lagi. Apalagi orang tua, tak akan bisa menjadi muda lagi.
Itulah
sebabnya, manajemen waktu merupakan keniscayaan bagi orang yang beriman. Allah
SWT mengingatkan tentang pentingnya waktu hingga Dia bersumpah dengan waktu.
Sebutlah misalnya, wal-ashr (demi
waktu), wadh-dhuha (demi waktu
dhuha), wal-laili (demi waktu malam),
wan-nahari (demi waktu siang), wal-fajr (demi waktu fajr).
Rasulullah
SAW juga bersabda, “Dua karunia yang
sering dilupakan manusia, yaitu kesehatan dan kesempatan (waktu).” (H.R
Bukhari)
Orang
yang cerdas adalah mereka yang pandai menggunakan waktunya sebesar-besarnya
untuk memperoleh ridha Allah SWT melalui ibadah dan amal saleh. Mereka hanya
disibukkan oleh dua kegiatan penting sepanjang hidupnya, yaitu ibadah dan amal
shaleh. Titik. Tak ada waktu untuk hal yang sia-sia, apalagi untuk bermaksiat
kepada Allah SWT.
- Prioritas
Adalah aneh jika masih ada seorang Muslim yang bertanya
seperti ini, “Apa yang akan saya kerjakan?”.
Semestinya seorang Muslim tahu
bahwa ia memiliki banyak sekali pekerjaan. Dan, kalau pun ia harus bertanya,
maka bentuk pertanyaan semestinya adalah, “Mana yang paling penting dan paling
mendesak untuk saya kerjakan lebih dulu?”.
Terlalu banyak tugas dan
pekerjaan di depan kita. Dibandingkan dengan ketersediaan waktu dan
ketersediaan sumberdaya, tak mungkin kita bisa mengerjakan semua tugas-tugas
kita. Untuk itu kita harus memilih dan menentukan skala prioritas.
Seorang Muslim seharusnya selalu
menempatkan kepentingan agamanya sebagai prioritas yang paling utama. Dengan
menempatkan agama sebagai prioritas, maka yang lain bisa digeser jika waktu
shalat tiba. Yang lain bisa dikalahkan jika menyangkut kepentingan agama.
Kita harus memilih prioritas,
karena sumber daya kita terbatas. Dalam menentukan prioritas ini, Allah SWT
membimbing kita melalui Firman-Nya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata. ( Al-Ahzab: 36).
4. Kata-kata
Di antara
hal terpenting yang juga harus dapat kita kendalikan adalah memilih kata-kata.
Rasulullah SAW mengingatkan bahwa keselamatan manusia itu terletak pada
lisannya.
Betapa banyak guru yang
kehilangan kehormatan karena kata-katanya jorok, pemimpin kehilangan wibawanya
karena kata-katanya sering menghina dan merendahkan. Demikian juga orang
kebanyakan mendapatkan celaka karena pembicaraanya.
Lidah memang tak bertulang.
Tapi, sebagai pemiliknya kita tetap harus bisa mengendalikannya. Tak boleh
sembarangan bicara, harus kenal waktu, situasi dan kondisinya. Kata-kata kotor,
jorok, menghina, merendahkan, menyakitkan, dan menusuk perasaan, harus
dihindari. Kata pepatah: Mulutmu
Harimaumu!.
Sebaliknya, kita harus pandai
memilih kata yang santun, menghormati dan memuliakan. Lebih jauh lagi, kita
harus pandai memilih kata yang efektif.
Rasulullah SAW dikenal pandai
memilih kata dan kalimat sehingga beliau dikenal sebagai “jawami’ul kalim”
(memilih satu kata yang bisa menjelaskan banyak hal).
Kehidupan pribadi Rasulullah SAW
adalah teladan terbaik bagi umat manusia. Beliatu sukses memimpin umat,
sekaligus sukses memimpin keluarga. Sabda Beliau, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan
aku di antara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” (H.R
Tirmidzi).
Keberhasilan kita memimpin rumah
merupakan modal kepemimpinan kita di luar rumah. Jika kita gagal memimpin
keluarga, jangan banyak berharap dapat sukses memimpin masyarakat yang lebih
luas. Sebelum mampu mengendalikan orang banyak, terlebih dahulu kita harus
mampu mengendalikan diri dan keluarga kita sendiri.
Wallahu a’lam bish shawab.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gunakan bahasa yang baik dan sopan.